Friday 17 October 2008

RUU Rumah Sakit Tertibkan Rumah Sakit dan Lindungi Hak Pasien

Rumah sakit memiliki kompleksitas persoalan dan risiko yang tinggi bagi pasien, untuk itu sebuah Undang-Undang Rumah Sakit dibutuhkan untuk mewujudkan hak-hak rakyat dan menertibkan tanggung jawab rumah sakit dalam melindungi hak pasien. ”Di rumah sakit juga rawan terjadi konflik. Risiko bukan hanya pada pasien tetapi juga pada rumah sakit. Ini tidak cukup diatur lewat peraturan pemerintah,” kata Ketua Umum Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Dr. Adib A. Yahya dalam diskusi di sekretariat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Jakarta, Rabu (23/7).
Ia menegaskan bahwa Undang-Undang Rumah Sakit adalah pemenuhan amanat konstitusi Pasal 28 H (1) (1) bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan llingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. ”Juga Pasal 34 (3) bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak,” katanya.

Masih menurutnya, rumah sakit saat ini menjurus pada kepentingan komersial. Banyak peralatan canggih digunakan tanpa analisis kebutuhan objektif. ”Sekarang MRI menjadi alat promosi dan gengsi rumah sakit, padahal tiap hari dibutuhkan 10 pasien untuk membayar hutangan rumah sakit pada bank karena membeli MRI,” kata Adib Yahya.
Rumah sakit, menurutnya, memiliki fungsi sosial sehingga tidak diizinkan menolak pasien, menolak gawat darurat, dan tidak bisa seperti juga membeli sepatu, ada uang ada barang. ”Undang-Undang ini diharapkan dapat mengatur semua itu, sehingga ada perbaikan dalam sistim perumah sakitan Indonesia,” demikian Adib Yahya.

Sementara itu, Dr. Muhammad Nasser menjelaskan bahwa RUU Rumah Sakit ini diserahkan Menkes RI pada Komisi IX DPR pada 2 Juli 2008 dan tidak masuk dalam Prolegnas. ”Namun RUU ini dapat melenggang menyalip amendemen UU No 23/1993 tentang Kesehatan yang masuk dalam Prolegnas dan sudah dibahas dalam 2 periode DPR RI,” demikian ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Menurutnya, peraturan penyelenggaraan rumah sakit cukup diatur dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. ”Tidak perlu jadi undang-undang karena dengan peraturan pemeritah sudah cukup, karena kalau dengan Undang-undang ada konsekwensi hukum yang berat bagi rumah sakit dan dokter,” demikian Nasser mewakili pendapat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam forum diskusi di sekretariat IDI.
Tentang hal ini, Dr Rachmad Sentika menjelaskan bahwa undang-undang ini merupakan prioritas legislasi nasional nomor 22 dari 284 RUU yang harus diselesaikan oleh pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono, bukan tiba-tiba muncul.
”Ada ketakutan terhadap sangsi, kalau rumah sakit diatur lewat undang-undang. Sudah waktunya rumah sakit indonesia berubah menjadi lebih baik. Kita harus dukung menjadi undang-undang,” demikian mantan ketua komite perundang-undangan Pengurus Besar IDI ini.

No comments: